Alergi pun Bisa Picu Gangguan Ini
A
A
A
WASHINGTON - Orthorexia tidak hanya disebabkan karena obsesi seseorang untuk hidup sehat. Terkadang penyakit lain juga bisa menyebabkan orthorexia.
David Rakel, direktur pengobatan integratif di University of Wisconsin School of Medicine and Public Health, memperkirakan 10—15% pasien yang datang dengan alergi makanan dan masalah terkait mengembangkan ketakutan tak sehat terhadap makanan tertentu.
Terapi nutrisi sering kali melibatkan penyingkiran diet—berhenti makan makanan tertentu untuk memeriksa apakah makanan itu berkontribusi terhadap kondisi peradangan. Berdasarkan program tersebut, makanan kemudian secara perlahan diperkenalkan kembali, tapi sejumlah orang tetap menghindarinya. “Orang menjadi begitu ketat dengan pilihan kesehatan mereka sehingga mereka tidak mendapatkan nutrisi yang mereka perlukan,” papar Rakel, yang dilansir Wall Street Journal.
Beberapa terapis kelainan makan mengungkapkan, banyak pasien orthorexia yang mereka rawat juga menderita anorexia. Tapi, pakar lain mengatakan, pengidap orthorexia sering kali tidak kekurangan berat badan, sehingga sulit mengidentifikasi mereka.
“Di atas kertas, orang mungkin sehat sekali dan kinerja darah mereka bagus dan berat badan mereka juga baik tapi perilaku mereka menjadi obsesif dengan makanan,” papar Marjorie Nolan Cohn, pakar diet berbasis New York dan juru bicara nasional Academy of Nutrition and Dietetics.
Yang menjadi perhatian adalah ketika perilaku makan seseorang membuat mereka menghindari aktivitas sosial. “Mereka mungkin tidak bisa pergi ke restoran bersama teman karena tidak tahu apa yang ada di dalam makanan atau tidak dimasak dengan cara tertentu atau apakah memakai minyak zaitun organik,” ujar dia.
Tahun lalu, Jordan Younger, 24, dari Los Angeles, memulai Instagram dan blog yang berisi resep dan foto diet vegetarian. Setelah itu, diet hariannya justru membuatnya tersiksa.
“Saya bangun dengan pikiran panik, apa yang akan saya makan hari ini? Saya akan pergi ke tempat penjual jus atau toko kelontong dan menghabiskan waktu melihat semuanya, berusaha merencanakannya sepanjang hari. Itu mulai menguasai pikiran saya dengan cara yang saya mulai lihat tidak sehat,” papar Younger.
Younger, yang langsing, mengaku turun hingga 11 kg setelah diet ketat. Tapi, akibat diet itu, kulitnya berubah menjadi oranye dan dia berhenti menstruasi. Mei lalu, dia mulai menjalani perawatan di spesialis kelainan makan dan pakar gizi yang membantunya pulih.
Sekarang, Younger menyatakan tidak lagi membatasi diri makan apa pun kecuali makanan olahan. Kulitnya sudah kembali ke warna asli, rambutnya kembali menebal dan berat badannya pun balik ke normal.
“Dengan semua filosofi diet yang berbeda-beda ini, banyak ruang bagi perkembangan orthorexia. Sulit sekali makan kalau kalian mendengarkan semua teori itu dan memberikan seton kecemasan terhadap makan dana makanan ketika makanan seharusnya bisa dinikmati,” ujar dia.
David Rakel, direktur pengobatan integratif di University of Wisconsin School of Medicine and Public Health, memperkirakan 10—15% pasien yang datang dengan alergi makanan dan masalah terkait mengembangkan ketakutan tak sehat terhadap makanan tertentu.
Terapi nutrisi sering kali melibatkan penyingkiran diet—berhenti makan makanan tertentu untuk memeriksa apakah makanan itu berkontribusi terhadap kondisi peradangan. Berdasarkan program tersebut, makanan kemudian secara perlahan diperkenalkan kembali, tapi sejumlah orang tetap menghindarinya. “Orang menjadi begitu ketat dengan pilihan kesehatan mereka sehingga mereka tidak mendapatkan nutrisi yang mereka perlukan,” papar Rakel, yang dilansir Wall Street Journal.
Beberapa terapis kelainan makan mengungkapkan, banyak pasien orthorexia yang mereka rawat juga menderita anorexia. Tapi, pakar lain mengatakan, pengidap orthorexia sering kali tidak kekurangan berat badan, sehingga sulit mengidentifikasi mereka.
“Di atas kertas, orang mungkin sehat sekali dan kinerja darah mereka bagus dan berat badan mereka juga baik tapi perilaku mereka menjadi obsesif dengan makanan,” papar Marjorie Nolan Cohn, pakar diet berbasis New York dan juru bicara nasional Academy of Nutrition and Dietetics.
Yang menjadi perhatian adalah ketika perilaku makan seseorang membuat mereka menghindari aktivitas sosial. “Mereka mungkin tidak bisa pergi ke restoran bersama teman karena tidak tahu apa yang ada di dalam makanan atau tidak dimasak dengan cara tertentu atau apakah memakai minyak zaitun organik,” ujar dia.
Tahun lalu, Jordan Younger, 24, dari Los Angeles, memulai Instagram dan blog yang berisi resep dan foto diet vegetarian. Setelah itu, diet hariannya justru membuatnya tersiksa.
“Saya bangun dengan pikiran panik, apa yang akan saya makan hari ini? Saya akan pergi ke tempat penjual jus atau toko kelontong dan menghabiskan waktu melihat semuanya, berusaha merencanakannya sepanjang hari. Itu mulai menguasai pikiran saya dengan cara yang saya mulai lihat tidak sehat,” papar Younger.
Younger, yang langsing, mengaku turun hingga 11 kg setelah diet ketat. Tapi, akibat diet itu, kulitnya berubah menjadi oranye dan dia berhenti menstruasi. Mei lalu, dia mulai menjalani perawatan di spesialis kelainan makan dan pakar gizi yang membantunya pulih.
Sekarang, Younger menyatakan tidak lagi membatasi diri makan apa pun kecuali makanan olahan. Kulitnya sudah kembali ke warna asli, rambutnya kembali menebal dan berat badannya pun balik ke normal.
“Dengan semua filosofi diet yang berbeda-beda ini, banyak ruang bagi perkembangan orthorexia. Sulit sekali makan kalau kalian mendengarkan semua teori itu dan memberikan seton kecemasan terhadap makan dana makanan ketika makanan seharusnya bisa dinikmati,” ujar dia.
(alv)